Saturday, March 17, 2007

Ratapan Seorang Supir Angkot

Kemaren pas pulang, sepertinya aku salah pilih angkot. Pas naik cuma ada tiga penumpang termasuk aku. Tidak lama setelah aku naik, satu orang turun, berarti tinggal dua penumpang. Kemudian si supir bertanya, "Mau turun dimana mbak?(kebetulan penumpangnya perempuan semua)". "Saya turun di rumah sakit", kata penumpang yang satu. "Saya turun di Slipi", jawabku. Nah, setelah kita menjawab pertanyaan tuh supir, dia langsung ngomong panjang lebar yang ga jelas gitu deh. Dia mulai bercerita seperti ini,
"Kalau penumpangnya cuma sedikit kaya gini, saya mending pulang aja. Males saya jadinya. Kalau saya narik malam ya begini ini resikonya. Narik cuma dapat uang 3orb, bensin juga abis 30rb. Kalau dapat 40rb, bensin 30rb kan lumayan masih ada sisa. Tuh liat, temen saya pada pulang semua. Gimana ini?? Yang dari tanah abang aja cuma ada 2 sampe 3 orang doang. Kalau saya ngga dihalang-halangin sama istri saya, saya udah jadi pengedar narkoba. Temen saya aja ada yang dipenjara gara-gara ketauan ngedarin ganja. Kalau jadi pengedar kan enak. Bawa 10-20 kg bisa dapet duit sekitar 500rb. Daripada narik angkot kaya gini. Cuma, saya selalu dihalangin sama istri saya, jadinya ngga jadi. Coba kalau ngga, saya udah jualan. Ini nih gara-gara harga bensin naik. Kalau bensin naik lagi, pasti semakin banyak yang pake motor. Dulu aja kalau saya narik pagi udah banyak tetangga-tetangga saya yang nunggu mau bareng. Kan lumayan dapet 10-12 orang. Coba sekarang, udah ngga ada yang naik nungguin lagi, mereka udah pada naik motor sendiri. Sejak Pak Suharto turun, keadaannya jadi kaya gini. Kalau jamannya Pak Suharto enak, angkot penuh terus. Bukan kita yang nunggu orang tapi orang yang nunggu kita. Dari tanah abang penuh, dari meruya juga penuh. Sampe-sampe orang-orang pada berebutan mau naik. Wah, kalau Pak Suharto dicalonkan lagi jadi Presiden, saya mau pilih dia lagi."
Kira-kira itulah cerita sang supir angkot sepanjang perjalanan dari Kampus Anggrek sampai Slipi. Aku sih hanya menjadi pendengar yang baik. Sedangkan, penumpang yang satunya sesekali menanggapi. Memang, sekarang banyak harga-harga kebutuhan bahan pokok yang semakin melambung tinggi. Dan tidak bisa dipungkiri kalau harga-harga itu sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan era Orde Baru. Tidak bisa dipungkiri juga kalau sebagian masyarakat mengambil jalan pintas untuk mengatasinya. Beruntung sang supir angkot mempunyai istri yang berbudi pekerti baik dan bijaksana. Jika ia tidak melarang suaminya menjadi pengedar, mungkin suaminya itu yang masuk penjara. Pasti keadaan keluarganya akan menjadi semakin berantakan. Kita hanya bisa berharap keadaan ekonomi Indonesia cepat membaik dan terhindar dari dari segala macam bencana alam maupun ulah manusia. Amin...

0 comments: